Sabtu, 19 Maret 2011

KAIDAH HUKUM

·        Apakah yang menyebabkan timbulnya hukum?
Menurut Mertokusumo (1999) untuk timbulnya hukum diperlukan minimal 2 orang yang saling berhubungan. Hubungan tersebut bisa hubungan yang menyenangkan (misalnya hubungan dua orang yang berlawanan jenis disahkan oleh lembaga perkawinan maka akan menimbulkan hukum perkawinan); atau sebaliknya, hubungan tersebut hubungan yang tidak menyenangkan yaitu karena terjadi sengketa atau perselisihan.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada hakekatnya hukum baru ada apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini terjadi ketika seseorang dalam melaksanakan kepentingannya telah merugikan orang lain.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa manusia pada umumnya suka mencari benarnya sendiri. Kalau kepentingannya terganggu, ia cenderung akan menyalahkan orang lain; ia akan mempersoalkan siapa yang salah, siapa yang melanggar, siapa yang berhak, apa hukumnya. Disinilah baru dipersoalkan oleh hukum. Dengan kata lain, hukum baru timbul ketika terjadi konflik kepentingan atau pelanggaran kaidah hukum; sebaliknya kalau semua kejadian berlangsung tertib, tidak ada konflik atau pelanggaran kaidah hukum, maka tidak akan ada orang yang mempersoalkan hukum.

·        Kaidah hukum dan Kaidah Sosial Lainnya
Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa hukum baru timbul ketika terjadi konflik kepentingan atau pelanggaran kaidah hukum.
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kaidah hukum, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kaidah. Menurut Purbacaraka dan Soekanto (1993) yang dimaksud dengan kaidah adalah patokan, ukuran atau pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Sebagai contoh, apabila seseorang meminjam barang orang lain, maka orang tersebut harus mengembalikan barang yang dipinjamnya.
Selanjutnya, apakah yang dimaksud dengan kaidah hukum? Menurut Mertokusumo (1999) kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Jadi kaidah hukum merupakan pedoman bagaimana seseorang bertingkah laku.
Perihal kaidah hukum, menurut Mertokusumo (1999), dapat dibedakan dari kaidah kepercayaan, kaidah kesusilaan dan sopan santun, tetapi tidak dapat dipisahkan, sebab meskipun ada perbedaannya, keempat kaidah tersebut ada titik temunya. Isi masing-masing kaidah saling mempengaruhi satu sama lain, bahkan kadang-kadang saling memperkuat. Berikut ini contoh titik temu dari kaidah-kaidah tersebut (Mertokusumo, 1999).
  1. Kaidah kepercayaan (agama) – kaidah hukum.
Misalnya Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama bagi setiap penduduk. Pembunuhan, pencurian, perzinahan tidak dibenarkan oleh kedua kaidah tersebut.
  1. Kaidah kesusilaan – kaidah hukum.
Kesusilaan sering melarang beberapa perbuatan tertentu yang oleh hukum sama sekali tidak dihiraukan, seperti misalnya berbohong, kumpul kebo. Sebaliknya, kadang-kadang hukum membolehkan apa yang dilarang kesusilaan. Mertokusumo (1999) memberi contoh, misalnya Suto menggugat Noyo yang hutang uang kepadanya tetapi tidak melunasinya. Hakim dalam putusannya menolak gugatan Suto karena dianggap tidak terbukti. Menurut hukum, karena gugatan penggugat (Suto) ditolak oleh pengadilan, maka tergugat (Noyo) tidak perlu memenuhi kewajibannya melunasi hutangnya kepada penggugat. Tetapi kaidah kesusilaan tidak membebaskan orang yang berhutang tidak membayar hutangnya. Singkatnya, menurut Mertokusumo (1999) hukum menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan atau pentaatan kaidah semata-mata), sedangkan kesusilaan menuntut moralitas yang berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib.
  1. kaidah kesopanan – kaidah hukum.
Batas antara kesopanan dan hokum selalu berubah, bergeser. Sebagai contoh, pertunangan yang dulu merupakan lembaga hokum, sekarang hanya merupakan sopan santun atau adat kebiasaan saja.

Ditinjau dari segi isinya, kaidah hukum berisi perintah, larangan, perkenan; sedangkan ditinjau dari sifatnya, kaidah hukum bersifat imperatif dan fakultatif. Kaidah hukum yang isinya perintah dan larangan bersifat imperatif; sedangkan kaidah hukum yang isinya perkenan bersifat fakultatif.


Sumber : Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. (Edisi Keempat, Cetakan Kedua). Jogjakarta: Penerbit Liberty